KabarIndonesia - Berbicara pendidikan di Indonesia selalu dihadapkan dengan kompleksitas permasalahannya, entah itu dari sisi sosial, ekonomi, budaya, geografis, sumber daya manusia, bahkan sampai kepdulian akan pendidikan masih minim. Sekedar melihat kembali bahwa kurikulum di Negara kita mengalami perubahan sejak kurikulum tahun 1947 (rencana pendidikan) sampai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pergantian tersebut juga masih belum tertuju dengan tepat.
Dalam kurikulum sekarang terdapat mata pelajaran Seni Budaya, yang secara lengkap mempelajari dan mengenalkan semua budaya Negara kita. Pelajaran ini paling tidak memiliki aspek yang diharapkan, baik dari pengenalan budaya sampai bagaimana peserta didik menyikapinya terutama mempraktekannya. Jika kita melihat sudut pandang kompleksitas permasalahan kurikulum, aspek tersebut banyak yang tidak kena sasaran, terutama dalam hal pengadaan fasilitas bahkan sumber daya manusianya juga terkadang kurang memahami.
Seni Budaya sudah terdapat mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah, atas dengan program yang berbeda pula. Beberapa kelemahan yang terjadi yakni kurangnya pemantapan program dalam seni budaya itu sendiri, sejauh pengamatan pendidikan di negara ini sekolah yang benar-benar memiliki fasilitas dan kompetensi untuk mengangkat Seni Budaya Indonesia masih saja kurang.
Beberapa tahun yang lalu sempat terjadi konflik mengenai seni dan budaya Indonesia oleh negara luar, sebut saja Malaysia yang mengklaim batik, dan Reog Ponorogo sebagai kebudayaan milik mereka.
Konflik tersebut terjadi karena apresiasi baik dari pemerintah dan masyarakat sangat minim mengenai seni budaya. Pemerintah kurang memperhatikan pelestarian budaya, terutama dalam pendidikan, masyarakatpun sudah banyak menganggap mempelajari seni dan budaya asli kita adalah hal kuno. Beberapa faktor tersebut menjadikan pola kurikulum dalam menjaga seni dan budaya Indonesia ikut terpengaruh.
Banyak sekolah yang menomorduakan mata pelajaran seni budaya, yang jika dipahami pelajaran ini sungguh memberikan kebanggaan tersendiri. Evaluasi pendidikan pun tidak mengenalkan kurikulum ini baik ketika tes atau ujian akhir. Dalam beberapa decade terakhir ini, Amerika dan Malaysia mengamati kemajuan kesenian Indonesia yakni gamelan dan music keroncong. Dua kesenian asli milik bangsa kita yang benar-benar dihargai di negara Lain.
Amerika memasukkan kurikulum gamelan dalam tingkatan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, bahkan ketika masuk perguruan tinggi mahasiswa harus mengenal gamelan dengan baik. Mereka diajarkan untuk bermain gamelan walaupun tidak secakap orang Indonesia. Banyak orang Indonesia yang bangga karena gamelan masuk dalam kurikulum Amerika, tetapi mereka tidak sempat berpikir bahwa ironis sebenarnya ketika gamelan tidak masuk dalam kurikulum pendidikan walaupun beberapa sekolah sudah mulai memfasilitasi gamelan ini.
Malaysia mulai memasukkan kurikulum keroncong dalam pendidikannya. Negera tetangga itu sedang giat-giatnya mempromosikan keroncong melalui televisi, radio, dan kurikulum pendidikan. Jika kita simak di Indonesia, apresiasi keroncong minim sekali bahkan kurikulumpun juga minim sekali mengenalkan dan memperlajarinya. Pemerintah sebenarnya mampu mengatasi hal ini asalkan ketika kurikulum ini dimunculkan, maka pemerintah juga harus memikirkan masalah fasilitas dan pengajarnya, bahkan kalau bisa kurikulum ini masuk dalam evaluasi pendidikan peserta didik.
Ironis sekali ketika mendengar gamelan dan keroncong dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di luar negeri sedangkan Negara kita sendiri acuh terhadap pelestariannya. Tidak salah apabila banyak seni dan budaya kita mendapat klaim dari Negara lain, karena di negara kita sendiri apresiasinya sangat kurang.
Seniman tidak bisa berkembang apabila tidak didukung pemerintah karena hal ini menyangkut kinerja yang harus didukung banyak pihak, jangan sampai anak cucu kita kelak tidak mengenal sedikitpun tentang gamelan dan keroncong. Gamelan dan keroncong adalah milik Indonesia dan perkembangannya harus lebih pesat di Negara sendiri. Pemerintah harus lebih memperhatikan seni dan budaya sendiri untuk anak dan cucu kelak. (Nanok Triyono, S.Pd)
Seni Budaya sudah terdapat mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah, atas dengan program yang berbeda pula. Beberapa kelemahan yang terjadi yakni kurangnya pemantapan program dalam seni budaya itu sendiri, sejauh pengamatan pendidikan di negara ini sekolah yang benar-benar memiliki fasilitas dan kompetensi untuk mengangkat Seni Budaya Indonesia masih saja kurang.
Beberapa tahun yang lalu sempat terjadi konflik mengenai seni dan budaya Indonesia oleh negara luar, sebut saja Malaysia yang mengklaim batik, dan Reog Ponorogo sebagai kebudayaan milik mereka.
Konflik tersebut terjadi karena apresiasi baik dari pemerintah dan masyarakat sangat minim mengenai seni budaya. Pemerintah kurang memperhatikan pelestarian budaya, terutama dalam pendidikan, masyarakatpun sudah banyak menganggap mempelajari seni dan budaya asli kita adalah hal kuno. Beberapa faktor tersebut menjadikan pola kurikulum dalam menjaga seni dan budaya Indonesia ikut terpengaruh.
Banyak sekolah yang menomorduakan mata pelajaran seni budaya, yang jika dipahami pelajaran ini sungguh memberikan kebanggaan tersendiri. Evaluasi pendidikan pun tidak mengenalkan kurikulum ini baik ketika tes atau ujian akhir. Dalam beberapa decade terakhir ini, Amerika dan Malaysia mengamati kemajuan kesenian Indonesia yakni gamelan dan music keroncong. Dua kesenian asli milik bangsa kita yang benar-benar dihargai di negara Lain.
Amerika memasukkan kurikulum gamelan dalam tingkatan taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, bahkan ketika masuk perguruan tinggi mahasiswa harus mengenal gamelan dengan baik. Mereka diajarkan untuk bermain gamelan walaupun tidak secakap orang Indonesia. Banyak orang Indonesia yang bangga karena gamelan masuk dalam kurikulum Amerika, tetapi mereka tidak sempat berpikir bahwa ironis sebenarnya ketika gamelan tidak masuk dalam kurikulum pendidikan walaupun beberapa sekolah sudah mulai memfasilitasi gamelan ini.
Malaysia mulai memasukkan kurikulum keroncong dalam pendidikannya. Negera tetangga itu sedang giat-giatnya mempromosikan keroncong melalui televisi, radio, dan kurikulum pendidikan. Jika kita simak di Indonesia, apresiasi keroncong minim sekali bahkan kurikulumpun juga minim sekali mengenalkan dan memperlajarinya. Pemerintah sebenarnya mampu mengatasi hal ini asalkan ketika kurikulum ini dimunculkan, maka pemerintah juga harus memikirkan masalah fasilitas dan pengajarnya, bahkan kalau bisa kurikulum ini masuk dalam evaluasi pendidikan peserta didik.
Ironis sekali ketika mendengar gamelan dan keroncong dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di luar negeri sedangkan Negara kita sendiri acuh terhadap pelestariannya. Tidak salah apabila banyak seni dan budaya kita mendapat klaim dari Negara lain, karena di negara kita sendiri apresiasinya sangat kurang.
Seniman tidak bisa berkembang apabila tidak didukung pemerintah karena hal ini menyangkut kinerja yang harus didukung banyak pihak, jangan sampai anak cucu kita kelak tidak mengenal sedikitpun tentang gamelan dan keroncong. Gamelan dan keroncong adalah milik Indonesia dan perkembangannya harus lebih pesat di Negara sendiri. Pemerintah harus lebih memperhatikan seni dan budaya sendiri untuk anak dan cucu kelak. (Nanok Triyono, S.Pd)
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar